EKSOTIKA CANDI IJO: DESTINASI WISATA YANG TERLUPAKAN
Semula
penulis hanya bermaksud membandingkan keberadaan Lingga-Yoni di wilayah
Sumber Adi Kebumen dengan kawasan Candi Ijo, Prambanan[1]. Tidak
disangka, ketika melihat lebih dekat Candi Ijo ada pesona eksotika
tersendiri dibandingkan destinasi wisata situs kuno lainnya seperti
Candi Prambanan dan Kraton Boko di wilayah yang tidak terlalu jauh dan
lebih dikenal wisatawan mancanegara dan wisatawan lokal.
Candi Ijo
adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko atau
kita-kira 18 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Keberadaan Lingga-Yoni
di dalam lingkungan candi memperkuat latar belakang agama Hindu Siwa
tersebut. Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan
Mataram Kuno, dan terletak pada ketinggian 410 meter di atas permukaan
laut.
Secara
administratif, situs ini berada Dukuh Nglengkong, Dusun Groyokan, Desa
Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman yang terletak pada
posisi 110 00’ 32.86” BT 07 46’ 55” LS.
Candi Ijo
merupakan kompleks 17 buah bangunan yang berada pada sebelas teras
berundak. Pada bagian pintu masuk terdapat ukiran kala makara, berupa
mulut raksasa (kala) yang berbadan naga (makara), seperti yang nampak
pada pintu masuk Candi Borobudur. Dalam kompleks candi ini terdapat tiga
candi perwara (pendamping) yang menunjukkan penghormatan masyarakat
Hindu kepada Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Syiwa.
Candi Ijo
merupakan candi yang berlokasi paling tinggi dibandingkan candi-candi
lainnya (Prambanan, Banyunibo, Barong) serta Kraton Boko. Dari
ketinggian kita dapat melemparkan pandangan kita sejauh mungkin. Sebelah
timur laut, adalah wilayah Klaten pinggiran dengan rumah-rumah yang
kelihatan kecil di kejauhan. Sebelah selatan juga terlihat jurang dan
lembah hijau sepanjang wilayah Piyungan dan pinggiran kaki bukit di
Gunungkidul. Sepanjang mata memandang, kita disuguhi panorama hijau dan
keramaian aktifitas kota dari kejauhan. Bahkan landasan bandara Adi
Sucipto terlihat jelas di pelupuk mata dan kita dapat menikmati sejumlah
pemandangan saat pesawat terbang landing dan take off. Panorama eksotik
ini akan lebih terasa aura keindahannya jika menikmati matahari
terbenam di puncak Candi Ijo.
Hamparan
rumput hijau membentang dan mengelilingi kawasan candi induk, membuat
kita kerasan berlama-lama dan melepaskan kasut untuk mengitari candi.
Udara panas dan terik matahari tidak mengganggu kita di kawasan sejuk
dan sepi tersebut.
Beberapa
jam lamanya penulis berkeliling dan menggali sejumlah informasi dengan
didampingi Bapak Bambang Sulistyo dari Staf Candi Ijo. Sayangnya masih
ada sejumlah informasi yang kurang lengkap yang penulis butuhkan,
dikarenakan beliau bukan seorang arkeolog.
Penemuan Candi Ijo
Dari
informasi tertulis yang dipampang di kawasan Candi Ijo oleh Balai
Pelestarian Cagar Budaya (dulu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala –
BP3) diperoleh keterangan sbb: Candi Ijo pertama kali ditemukan oleh
administratur pabrik gula Sorogedug bernama H.E. Doorepaal pada tahun
1866, saat dia hendak mencari lahan bagi penanaman tebu. Tidak lama
berselang, C.A. Rosemeier mengunjungi kawasan Candi Ijo dan menemukan
tiga buah arca batu yaitu Ganesha, Siwa dan kepala tanpa tangan. Selain
arca, Rosemeier menemukan batu bertulis “Guywan”.
Tahun
1877, DR, J. Groneman dan Leydie Melville melakukan penggalian
arkeologis di sumuran candi induk dan memperoleh lembaran emas bertulis,
cincin emas serta beberapa biji-bijian. Tahun 1956-1962, M.M. Soekarto
menemukan sejumlah fragmen arca al., Siwa Mahaguru.
Di sekitar
Candi Ijo juga ditemukan sejumlah peninggalan al., Situs Sumur Bandung
Bondowoso, Situs Candi Tinjon, Situs Arca Gupolo.
Candi Ijo Sebagai Bagian Karya Monumental Zamannya
Menurut akar katanya (etimologi),istilah Candi diduga berasal dari kata Candika yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian.[2]
Keberadaan
Candi bersifat multi fungsi. Bisa berfungsi sebagai tempat beribadah,
pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat
pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura.
Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat
dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha,
pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat
erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama
Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad
ke-14[3].
Keberadaan
candi dan isi di dalamnya (baik patung, relief, lingga dan yoni) tidak
bisa dipisahkan dari keberadaan penguasa dalam hal ini para raja. Arca
dewa, seperti Dewa Wisnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang
ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan
leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan
dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan
candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk
pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha
yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana,
yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda
dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand[4].
Di
Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan
Kalimantan, akan tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa
Tengah (Borobudur, Dieng, Mendut) dan Jawa Timur (Bajangsanga,
Singasari). Abad ke-8 hingga ke-10 tercatat sebagai masa paling
produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan Medang Mataram
ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu
di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan
terpenuhi kebutuhan sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan
karya cipta arsitektur bernilai seni tinggi seperti ini[5]. Sebagaimana
sebuah kerajaan yang makmur dapat menghasilkan karya sastra bernilai
tinggi.
Cand-candi
di Indonesia dapat dikategorikan bercorak Hindu dan Budha. Beberapa
candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi
Jago, Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin,
Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal
termasuk Candi Ijo. Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi
Borobudur dan Candi Sewu. Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah
satu candi Hindu-Siwa yang paling indah. Candi itu didirikan pada abad
ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Keunikkan Candi Ijo
Berbeda
dengan candi-candi lainnya seperti Candi Prambanan atau Candi Sewu serta
Candi Borobudur, Candi Ijo merupakan kompleks berteras yang semakin
meninggi ke arah belakang sebagai pusat percandian. Pola semacam ini
biasa dijumpai di kawasan percandian di Jawa Timur.
Dalam
kitab-kitab kuno India, pemilihan tanah atau wilayah bagi candi
sangatlah penting bahkan melebihi keberadaan candi itu sendiri. Dalam
kitab-kitab kuno, tanah atau wilayah didirikannya candi dianggap sebagai
Vastu yang dianggap sebagai kediaman para dewa dan mengandung kesuburan
dengan ditandai adanya air atau sungai tidak jauh dari lingkungan
candi. Dalam artikel berjudul India Vastu Shastra dikatakan, “Pada
dasarnya, Vastu Shastra berkaitan dengan pelaksanaan arsitektur dan
ilmu konstruksi atau bangunan dan pada kenyataannya memberikan sentuhan
yang adil dalam setiap aspek kehidupan di bumi serta alam semesta. Tema
dasar tetap link yang selalu hadir antara manusia dan kosmos. Kata
'Vastu' itu berasal dari istilah 'VASTOSHPATI' yang penggunaannya dalam
Rig Veda dan dikatakan untuk membuat kebahagiaan, kemakmuran dan
perlindungan dalam kehidupan dan setelah kematian juga. Namun, Vastu
Shastra conceives benar di hadapan Vastu Purush, yang dianggap dewa
utama bangunan”[6].
Berbeda
dengan Candi Prambanan, Candi Barong, Candi Banyunibo serta Kraton Boko
yang sarat dengan keberadaan air, maka Candi Ijo justru jauh dari
lingkungan air dan berada di wilayah kering serta pegunungan kapur.
Belum ada penjelasan pasti dari para ahli dan peneliti, mengapa bangunan
Candi Ijo menyimpang dari pakem peletakkan sebuah candi yang tidak jauh
dari lingkungan sungai atau air.
Bukan
hanya lokasi Candi Ijo yang menyimpang dari pakem peletakkan candi,
namun ada beberapa karya yang menyimpan misteri yaitu keberadaan dua
buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah
satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti
pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm
dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan.
Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca
adalah "Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa." Bisa jadi, kedua
prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di masa
tersebut namun tidak dapat diperoleh kepastian mengenai apa yang
terjadi[7].
Destinasi Wisata Prospektif
Keindahan
dan ptensi Candi Ijo yang melebihi candi-candi lainnya ternyata kurang
diimbangi dengan pengelolaan yang berkesinambungan dan sinergis oleh
pihak-pihak terkait.
Sampai
hari ini, tidak ada karcis masuk untuk memasuki kawasan indah dan
eksotis ini. Hanya menuliskan buku tamu perkunjungan. Bukankah karcis
masuk bisa menjadi sebuah devisa dan pemasukan untuk perawatan dan
pelestarian disamping anggaran lembaga terkait pengelolaan Candi Ijo?
Padahal penulis melihat sejumlah pengunjung datang dan pergi walaupun
tidak banyak.
Belum ada
pedagang di sekitar komplek Candi Ijo sehingga menjadikan komplek ini
kawasan yang sepi dari aktifitas. Jika ada investor berminat melakukan
investasi di kawasan Candi Ijo, baik berupa penginapan dan wahana
bermain serta aktifitas terkait, maka kawasan eksotik ini akan menemukan
jodohnya, ibarat pertemuan Lingga-Yoni yang berada dalam candi induk.
Jika Lingga-Yoni – dalam aspek lainnya – melambangkan kesuburan, maka
sinergi antara keberadaan situs dengan aktifitas ekonomi (investasi
usaha, perdagangan, wahana rekreasi) serta pengawalan kebijakan
pemerintah daerah akan menghasilkan destinasi wisata prospektif bagi
Candi Ijo dan lingkungan candi sekitarnya.
Tidak
adanya sinergis antara situs dan ativitas keekonomian serta pengawalan
kebijakkan dari pihak terkait serta minimnya publikasi akan menjauhkan
Candi Ijo sebagai destinasi wisata prospektif. Oleh karenanya mengapa
penulis memberikan judul “Eksotika Candi Ijo: Destinasi Terlupakan?”
disebabkan perhatian seluruh wisatawan terfokus pada Candi Prambanan
dan Kraton Boko sehingga eksotika Candi Ijo di tempat paling tinggi dan
indah menatap Yogyakarta, justru terlupakan.
Bpk
Bambang Sulistyo sendiri sedang akan mengajukan usulan kepada pihak
terkait agar keberadaan Candi Ijo dapat dikenal luas dengan mengusulkan
pembukaan jalur jalan dari arah Kraton Boko melewati destinasi Candi
Banyunibi dan Candi Barong hingga berakhir di Candi Ijo sebagai satu
kesatuan jalur sehingga memudahkan para wisatawan untuk berkunjung.
Kiranya
artikel ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi kemajuan
kepariwisataan Candi Ijo ke depan dan menjadi salah satu media publikasi
eksotika alternatif selain Candi Prambanan dan Kraton Boko.
END NOTES
[1] Nilai Keberadaan Lingga dan Yoni di Desa Sumberadi
http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2013/03/nilai-keberadaan-lingga-dan-yoni-di.html
[2] Candi
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi
[3] Candi
http://candi.pnri.go.id/pengantar/index.htm
[4] Ibid.,
[5] Op.Cit., Candi
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi
[6] India Vasthu Shastra
http://id.prmob.net/vastu-shastra/india/feng-shui-674103.html
[7] Candi Ijo, Candi yang Letaknya Tertinggi di Yogyakarta
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/candi/ijo/
0 Response to " EKSOTIKA CANDI IJO: DESTINASI WISATA YANG TERLUPAKAN"
Posting Komentar
follow my twitter @akhmadraauf
yang punya blog wajib comen langsung comen back
yang follow blogku langsung di comen back
comen disini bebas