NILAI KEBERADAAN LINGGA DAN YONI DI DESA SUMBERADI
Menindaklanjuti
laporan Tim Pawiyatan Kebumenan beberapa minggu lalu di desa Sumberadi
mengenai keberadaan Lingga dan Yoni di kawasan TK Sumberadi dan beberapa
ratus meter dari Pesantren Al Kahfi Somalangu[1], penulis mencoba
menelusuri kembali jejak dan keberadaan Lingga dan Yoni di kawasan
tersebut dan mencoba memperdalam makna keberadaan Lingga dan Yoni
khususnya di wilayah dengan basis Keislaman yang kuat tersebut dan bagi
masyarakat Kebumen pada umumnya.
Penulis
tidak hanya berhenti melakukan penelisikan dan pemotretan terhadap kedua
Lingga dan Yoni di Sumberadi melainkan melacak sampai ke wilayah Candi
Mulyo yang lokasinya beberapa kilometer dari Sumberadi. Menurut
informasi warga setempat yang saya tanyai, pemilik warung bernama Anwar,
penulis memperoleh keterangan bahwa di wilayah Candi Mulyo terdapat
gundukan bebatuan yang dipagari dan berlokasi di depan rumah seorang
warga. Menurut cerita orang tua dan leluhur, di lokasi tersebut dahulu
adalah situs (entah candi atau lingga dan yoni) peribadatan agama Hindu
namun setelah para wali Islam datang maka keberadaan tempat tersebut
diurug (ditimbun) dan tertutup bagi siapapun.
Penulis
segera menyusuri keberadaan tempat yang dimaksudkan dan berhasil
menjumpai gundukan batu yang sudah ditumbuhi pepohonan dan berada di
tepi jalan desa dan di depan rumah seorang warga bernama Bapak Muhni
lokasi situs tersebut berada di wilayah di desa Candi Mulya dukuh
Tlimbeng. Dikarenakan Bapak Muhni sedang tidak ada di lokasi melainkan
hanya istrinya, maka tidak ada informasi yang dapat diperoleh mengenai
keberadaan gundukan yang patut diduga merupakan situs penting yang dapat
mengungkap lebih jauh latar belakang masyarakat dan kebudayaan pra
Islam di wilayah Kebumen. Jika benar lokasi gundukan tanah dan bebatuan
tersebut dahulunya terdapat situs keagamaan Hindu, maka tempat tersebut
harus diamankan oleh instansi terkait dan diadakan penggalian dan
konservasi sebelum ditetapkan statusnya secara arkeologis.
Menurut
istri Bapak Muhni yang penulis wawancarai, ada lagi keberadaan candi
lain di wilayah desa Candi Wulan namun keberadaannya kecil. Ketika
penulis berusaha melacak keberadaannya di wilayah tersebut, tidak ada
informasi yang diketahui warga jika di wilayah mereka ada sebuah candi
atau situs-situs penting sebagaimana yang dimaksudkan.
Keberadaan
Lingga dan Yoni di Sumberadi dan mungkin di wilayah sekitarnya,
memberikan beberapa petunjuk penting mengenai dua hal yaitu: Pertama, eksistensi historis dinasti yang berkuasa di zaman pra Islam dan pra Kebumen. Kedua,
eksistensi agama yang dianut pada zaman pra Islam dan pra Kebumen. Kita
akan telusuri satu persatu untuk menemukan benang merah sejarah.
Latar Belakang Dinasti Berkuasa Pra Kebumen
Menurut akar katanya (etimologi),istilah Candi diduga berasal dari kata Candika yang
berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian.[2]
Keberadaan Candi bersifat multi fungsi. Bisa berfungsi sebagai tempat
beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para
raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian)
dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi
tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu
dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan
candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan
perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai
dengan abad ke-14[3].
Keberadaan
candi dan isi di dalamnya (baik patung, relief, lingga dan yoni) tidak
bisa dipisahkan dari keberadaan penguasa dalam hal ini para raja. Arca
dewa, seperti Dewa Wisnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang
ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan
leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan
dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan
candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk
pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha
yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana,
yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda
dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand[4].
Di
Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan
Kalimantan, akan tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa
Tengah (Borobudur, Dieng, Mendut) dan Jawa Timur (Bajangsanga,
Singasari). Abad ke-8 hingga ke-10 tercatat sebagai masa paling
produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan Medang Mataram
ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu
di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan
terpenuhi kebutuhan sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan
karya cipta arsitektur bernilai seni tinggi seperti ini[5]. Sebagaimana
sebuah kerajaan yang makmur dapat menghasilkan karya sastra bernilai
tinggi.
Cand-candi
di Indonesia dapat dikategorikan bercorak Hindu dan Budha. Beberapa
candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi
Jago, Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin,
Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal.
Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi Sewu.
Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang
paling indah. Candi itu didirikan pada abad ke-9 Masehi pada masa
Kerajaan Mataram Kuno.
Sebagaimana
di katakan di atas, Kerajaan Medang atau Mataram kuno pra Islam
menghasilkan sejumlah keberadaan candi-candi baik di wilayah Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Apa yang dapat kita ketahui mengenai kerajaan-kerajaan
kuno pra Islam tersebut?
Kerajaan
Medang (Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama
sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian
berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang
bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal
abad ke-11. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan
sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan
Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini
ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti
Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama
kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini
berpusat di sana.
Pusat
kekuasaan Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan,
bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah
menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah
ditemukan antara lain:
Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut
perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan
Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang
sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang
disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir,
yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di
daerah Madiun.[6]
Keberadaan
Kerajaan Medang atau Mataram kuno tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan dinasti atau wangsa Sanjaya. istilah Wangsa Sanjaya
diperkenalkan oleh sejarawan bernama Dr. Bosch dalam karangannya yang
berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952).
Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Medang terdapat dua dinasti yang
berkuasa, yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra. Istilah Wangsa Sanjaya
merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya yang
memerintah sekitar tahun 732. Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M)
diketahui Sanjaya adalah penerus raja Jawa Sanna, menganut agama Hindu
aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjarakunja di daerah India, dan
mendirikan Shivalingga baru yang menunjukkan membangun pusat
pemerintahan baru[7].
Namun
demikian, penggunaan istilah Wangsa Sanjaya sempat ditolak oleh
Sejarawan Poerbatjaraka. Ada dua alasan penolakkan tersebut. Pertama,
Wangsa Sanjaya tidak pernah ada, karena Sanjaya sendiri adalah anggota
Wangsa Sailendra. Dinasti ini mula-mula beragama Hindu, karena istilah
Sailendra bermakna “penguasa gunung” yaitu sebutan untuk Siwa. Kedua istilah
Sanjayawangsa tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, sedangkan
istilah Sailendrawangsa ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya
prasasti Ligor, prasasti Kalasan, dan prasasti Abhayagiriwihara.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa, Sanjaya telah memerintahkan agar
putranya, yaitu Rakai Panangkaran pindah agama, dari Hindu menjadi
Buddha. Teori ini berdasarkan atas kisah dalam Carita Parahyangan bahwa
Rahyang Sanjaya menyuruh Rahyang Panaraban untuk berpindah agama. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan istilah “raja Sailendra” dalam prasasti
Kalasan tidak lain adalah Rakai Panagkaran sendiri[8].
Latar Belakang Keagamaan Pra Kebumen
Dengan
melihat keberadaan Lingga dan Yoni di desa Sumberadi maka kita dapat
menyimpulkan bahwa telah ada kepercayaan Hindu kuno pada zaman kerajaan
Mataram kuno pra Islam yaitu Kerajaan Medang.
Apalagi
telah diuraikan sebelumnya bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Medang
sempat berpindah-pindah di beberapa tempat di Jawa Tengah hingga
akhirnya mendiami wilayah Jawa Timur. Dan salah satu pemerintahan Medang
pernah berada di wilayah yang disebut Mamrati dan Poh Pitu yang
diperkirakan terletak di daerah Kedu. Dan Kebumen modern merupakan
bagian dari wilayah Karesidenan Kedu. Dan secara arkeologis, wilayah
Karesidenan Kedu sarat dengan peninggalan-peninggalan kuno dari dinasti
baik Sanjaya maupun Syailendra[9]. Di wilayah Purworejo sendiri terdapat
situs Candi Gondoarum dimana di dalamnya terdapat lingga dan yoni dari
masa Mataram Hindu. Candi ini terletak satu kompleks dengan Gua Seplawan
yang terletak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah [10]
Lingga dan Yoni di Candi Gondoarum Purworejo
Lingga dan Yoni di Pekalongan
Lingga dan Yoni di Bantul
Lingga dan Yoni di Candi Sukuh, Karanganyar-Solo
Lingga dan Yoni di Candi Ijo, Prambanan-Sleman
Makna Lingga dan Yoni dalam Perspektif Hindu
Ada banyak
interpretasi mengenai makna lingga dan yoni, mulai dari labang kemaluan
laki-laki (phalus) dengan lambang kemaluan perempuan, lambang Siwa dan
Saktinya (ada yang menyebut Durga dan ada yang menyebut Laksmi), lambang
kesuburan sebagaimana dijelaskan, “Lingga dan Yoni merupakan benda
tinggalan budaya masa klasik Hindu-Buddha, sebagai lambang kesuburan
dari perwujudan Siva dan Durga dihubungkan dengan pemujaan terhadap Dewi
Ibu. Dewa-dewa dalam agama Hindu, khususnya dewa-dewa tertinggi yang
digambarkan memiliki kekuatan untuk melakukan “tugas” yang seharusnya.
Kekuatan ini disebut šakti dan seringkali diwujudkan sebagai dewi
pasangan dewa-dewa tersebut. Dalam aliran Waisnava, Šakti Wisnu
diwujudkan sebagai Laksmi. Dalam aliran Saiwa, Sakti Siwa disebut Dewi.
Menurut beberapa Kitab Purana, Šakti Siwa atau Dewi memiliki dua aspek
santa atau saumnya (tenang) dan aspek kroda atau raudra (dahsyat).
Kultus Dewi Ibu menjadi bagian penting pada kebudayaan agraris sekitar
5000-4000 tahun SM. Hal ini muncul dari ketakjuban dan ketidakpahaman
akan proses-proses alam, seperti kelahiran. Pada masa ini masyarakat
menganggap Dewi Ibu sebagai personifikasi tanah yang melahirkan tanaman
yang diperlukan manusia. Kemudian dibuatlah patung-patung wanita dalam
sikap jongkok dalam ukuran kecil yang terbuat dari tanah liat dan batu
kapur. Pada masa ini Dewi Ibu dipuja bersamaan pasangan laki-lakinya,
karena pada prinsipnya dalam proses kelahiran hal tersebut tidak dapat
diabaikan. Lambang Dewi Ibu dan pasangannya berupa alat kelamin wanita
dan alat kelamin laki-laki”[11]
G.M.
Nurjana menolak makna linga dan yoni dihubungkan secara dangkal sebagai
lambang kemaluan lelaki dan perempuan dan memberikan interpretasi
teologis sbb:
“Dancing
with Siva Lexicon memberi definisi lingga atau Siva lingga sebagai
berikut: ‘Tanda (mark or sign) dari Siva. Ikon Siva yang paling banyak
digunakan, ditemukan hampir di semua mandir Siva. Bentuknya bundar,
eliptik, citra aniconic, biasanya diletakan di atas dasar bundar, atau
pitha. Sivalinga adalah simbol paling kuno paling sederhana dan Siva,
khususnya Parasiva, Tuhan di luar semua bentuk dan sifat-sifat. Pitha
merepresentasikan Parashakti, kekuatan Tuhan’. The Oxford Dictionary of
World Religions menambahkan: ‘Lingga adalah simbol energi generatif.
Menyebut ini sebagai “phallic worship” (pemujaan palus) adalah salah
secara total memahami represenrasi ecara miniatur atau bentuk simbolik,
menciptakan dan melepaskan kekuatan dengan mana dia diasosiasikan’
Ada
perbedaan sangat mendasar antara dua definisi pertama dengan dua
definisi terakhir. Lingga sebagai simbol Ayah (Tuhan) dan Yoni sebagai
Ibu (pertiwi), sebagai alam semesta, telah dipuja oleh umat umat Hindu
sejak 3.500 tahun sebelum masehi. Lingga dan Yoni diwujudkan menjadi
tempat suci atau bangunan suci dalam bentuk arca pelinggih, candi,
seperti bangunan Padmatara yang kita kenal sekarang.
Ciri
utama yang melekat pada bangunan arsitektur suci “Lingga” atau “Linga”
adalah: Satu, Wujud Lingga, bentuk vertikal, ujung oval, umumnya terbuat
dan batu andesit sebagai wujud cahaya Brahman yang transendental untuk
menciptakan alam semesta beserta isinya. Dua, Aksara “OM”(AUM), gema
suara Brahman dan simbol kekuatanNya untuk penciptaan. Tiga, Bangunan
Suci “Yoni” tempat tegaknya “Lingga” untuk menciptakan alam semesta,
dengan kelengkapan kekuatan Bedawangnala (naga, kura-kura) yang
didepannya Nandi, mengawal, menjaga keseimbangan ciptaan Nya”[12].
Apa makna
ular naga yang menopang Yoni? Menurut Poerwadarminta Naga berdasarkan
etimologisnya dari bahasa Sansekerta yang artinya Ular. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia naga berarti ular besar. Naga atau Ular mengandung
banyak makna dan tafsiran, antara lain Naga adalah lambang kekuasaan,
kesaktian, pelindung dan kesejahteraan bumi, penjaga air suci Amerta
serta simbol kesuburan.
Berdasarkan Mitologi Pola hias Naga yang bermahkota dihubungkan dengan kekuasaan kerajaan (pemerintahan) antara lain: Pertama,
Dalam kehidupan manusia banyak disebutkan mitologi mengenai peranan
Naga. Naga bermahkota dihubungkan dengan unsur pemerintahan (Kerajaan),
menurut Fergusson tahun 1971 menyebutkan Naga berhubungan dengan unsur
kerajaan pertama kali didapatkan pada naskah Mahabharata yang
menceritakan Arjuna dengan Ulupi putri Raja Naga dari Himalaya dan
perkawinan Arjuna dengan Chitragada putri Raja ular bernama Chitravahana
dari Manipur (Nina Santoso Pribadi, 1989:151). Kedua, Menurut
Fergusson tahun 1971 berdasarkan Berita Cina Hiu Oen Thsang bahwa
legenda ular atau Naga dihubungkan dengan pemerintahan atau kerajaan
terdapat di sepanjang Kabul sampai Khasmir (Nina santoso Pribadi,
1989:151).Ketiga, Menurut Briggs tahun 1957 Dalam Mitologi
Negara Kamboja ada kepercayaan turun-temurun bahwa Naga sangat
berhubungan erat dengan keturunan raja-raja di Kamboja, karena Naga
dianggap nenek moyang pelindung kerajaan. Dan kaitan raja-raja dengan
Naga (Nagaraja) yang menguasai bumi[13].
Korelasi Keberadaan Candi dan Lingga Yoni
Keberadaan
lingga dan yoni tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan candi sebagai
pelinggih atau bangunan candi sebagaimana dikatakan oleh G.M. Nurjana, “Lingga
Yoni dalam bentuk pelinggih atau bangunan candi di Jawa jumlahnya
ribuan. Khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta saja terdapat 72 situs
candi dengan bangunan pelinggih Lingga Yoni. Satu kompleks candi saja
terdapat minimal 9 pelinggih “Lingga Yoni” seperti Lingga Yoni di candi
Hijau, candi Sambisari, candi Kedulan, candi Kranggan, candi Nogosaren
dan lain sebagainya. Bagian candi dengan Lingga yang terbesar saat ini
adalah candi Hijau, di kecamatan Brebah Yogyakarta dan masih banyak
situs Lingga Yoni yang menjadi tempat pemujaan peninggalan Mataram Hindu
yang belum dieksavasi oleh Dinas Purbakala sebagai cagar budaya”[14].
Di wilayah
Jawa Tengah dan Yogyakarta banyak ditemukan candi-candi Hindu berisikan
lingga dan yoni sebagai simbol pemujaan terhadap Dewa Siwa al.,Candi
Ijo di kampung Groyogan, kel. Sambirejo, kec. Prambanan, kab.
Sleman[15], situs lingga yoni Mangir di Bantul[16],situs lingga yoni di
desa Linggom Asri Pekalongan[17], situs lingga yoni di dekat goa
Seplawan, Purworejo[18], candi Sukuh, Karanganyar, Solo[19], lingga yoni
di candi UII[20] dll.
Membaca
keberadaan lingga dan yoni yang tidak bisa dipisahkan dengan candi
sebagai pelinggih, maka patut diduga keberadaan lingga dan yoni di
Sumberadi Kebumen atau mungkin juga ada di bawah gundukan tanah dan
bebatuan di desa Candi Mulyo, berhubungan dengan keberadaan sebuah
candi. Asumsi ini perlu dipertimbangkan mengingat dalam banyak kasus dan
salah satunya penemuan Arca Ganesha dan lingga yoni dalam satu tempat
penggalian[21]
Keberadaan Arca Ganesha dan Lingga-Yoni Berdampingan
Sayangnya
sampai hari ini belum ada tanda-tanda apapun yang dikaitkan dengan
keberadaan sebuah candi di wilayah dimana lingga dan yoni ditemukan.
Apakah mungkin di dalam gundukan tanah dan batu besar di Candi Mulyo
berisikan candi? Waktu yang akan menjawab.
Jika
dimasa yang akan datang kesadaran masyarakat akan benda-benda bersejarah
dan kesadaran pemerintah daerah untuk melakukan konservasi benda-benda
bersejarah semakin meningkat, mungkin kita akan menemukan sejumlah
penemuan menakjubkan yang akan memperkaya sejarah masa lalmpau Kebumen.
Masuknya Islam di wilayah Kebumen Menggantikan Hindu
Jika
mengikuti alur sejarah masuknya Islam versi Pondok Pesantren Somalangu
berdasarkan Prasasti Batu Zamrud Siberia (Emerald Fuchsite) berbobot 9
kg yang ada didalam Masjid Pondok Pesantren, maka diperoleh data bahwa
pada tahun 1475 Ms telah berdiri pesantren tersebut di wilayah
Somalangu. Prasasti dengan kandungan elemen kimia Al, Cr, H, K, O, dan
Si ini bertuliskan huruf Jawa & Arab. Huruf Jawa menandai candra
sengkalanya tahun. Sedangkan tulisan dalam huruf Arab adalah penjabaran
dari candra sengkala tersebut. Terlihat jelas dalam angka tanggal yang
tertera dengan huruf Arabic :“25 Sya’ban 879 H”. Ini artinya bahwa
Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu resmi berdiri semenjak tanggal 25
Sya’ban 879 H atau bersamaan dengan Rabu, 4 Januari 1475 M[22]
Berikut riwayat singkat menurut artikel yang dipaparkan Ahmad Subandi: “Nama
aslinya adalah Sayid Muhammad ‘Ishom Al_Hasani. Merupakan anak pertama
dari 5 bersaudara. Ayahnya bernama Sayid Abdur Rasyid bin Abdul Majid
Al_Hasani, sedangkan ibunya bernama Syarifah Zulaikha binti Mahmud bin
Abdullah bin Syekh Shahibuddin Al Huseini ‘Inath. Sayid Muhammad ‘Ishom
Al_Hasani semenjak usia 18 bulan telah dibimbing dengan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan keagamaan oleh guru beliau yang bernama Sayid
Ja’far Al_Huseini, Inath dengan cara hidup didalam goa – goa di Yaman.
Oleh sang guru setelah dianggap cukup pembelajarannya, Sayid Muhammad
‘Ishom Al_Hasani kemudian diberi laqob (julukan) dengan Abdul Kahfi.
Yang menurut sang guru artinya adalah orang yang pernah menyendiri
beribadah kepada Allah swt dengan berdiam diri di goa selama bertahun –
tahun lamanya. Nama Abdul Kahfi inilah yang kemudian masyhur dan lebih
mengenalkan pada sosok beliau daripada nama aslinya sendiri yaitu
Muhammad ‘Ishom.
Syekh
As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani ketika berusia 17 tahun sempat menjadi
panglima perang di Yaman selama 3 tahun. Setelah itu beliau tinggal di
tanah Haram, Makkah. Kemudian Pada usia 24 tahun, beliau berangkat
berdakwah ke Jawa. Mendarat pertama kali di pantai Karang Bolong,
kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen.
Setelah
menaklukan dan mengislamkan Resi Dara Pundi di desa Candi Karanganyar,
Kebumen lalu menundukkan Resi Candra Tirto serta Resi Dhanu Tirto di
desa Candi Wulan dan desa Candimulyo kecamatan Kebumen, beliau akhirnya
masuk ke Somalangu. Ditempat yang waktu itu masih hutan belantara ini,
beliau hanya bermujahadah sebentar, mohon kepada Allah swt agar kelak
tempat yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Al_Kahfi Somalangu dapat
dijadikan sebagai basis dakwah islamiyahnya yang penuh barokah
dikemudian hari”[23]
Sebuah Rekonstruksi
Dari
pemaparan di atas kita dapat menemukan benang merah kurang lebih sbb: Di
wilayah dimana saat ini terdapat sejumlah situs Lingga Yoni khususnya
di Sumberadi dan patut diduga di beberapa wilayah lainnya seperti di
Candi Wulan dan Candi Mulyo, telah ada peradaban sebuah bagian dari
kerajaan dari wangsa Sanjaya atau Syailendra (Abad VIII Ms) yang
beragama Hindu dengan berpusatkan pada penyembahan Siwa, ditandai dengan
keberadaan lingga dan yoni.
Saat Islam
masuk melalui dakwah Syekh As Sayid Abdul Kahfi Al Hasani pada Abad XV
Ms terjadilah konflik teologis yang berujung pada ketengangan fisik
berhadapan dengan Resi Candra Tirto serta Resi Dhanu Tirto di desa Candi Wulan dan desa Candimulyo.
Kekalahan
kedua tokoh Hindu tersebut ditandai dengan penimbunan situs keagamaan di
dalam tanah dan pelarangan untuk membongkar dan membuka isinya.
Peninggalan tersebut masih dapat dilihat hingga sekrang di desa Candi
Wulan, Kebumen.
Sejak saat
itulah desa Sumberadi khususnya Pesantren Somalangu menjadi basis
dakwah Islam yang berpengaruh dan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan
pada Abad XIX dengan keberadaan Batalyon Lemah Lanangnya.
Refleksi
Dari
sejumlah analisis dan kajian di atas, penulis memberikan beberapa
catatan kecil. Jika kita membuat periodisasi sejarah penghuni dan
peradaban serta keagamaan di wilayah Kebumen, dapat dibagi dalam
beberapa lapisan. Pertama, eksistensi Kebumen modern yang baru
diresmikan keberadaannya pada tahun 1936 oleh Gubermen Belanda De Jonge,
ternyata memiliki akar keagamaan dan kebudayaan yang sangat tua
khususnya dari zaman dinasti Sanjaya dan Syailendra penganut Hindu
pemuja Siwa. Kedua, setelah periode masuknya Islam ternjadi
sebuah perubahan keagamaan dan kebudayaan yang turut membentuk
masyarakat pra Kebumen modern. Pusat perkembangan Islam berpusat di
Pesantren Somalangu, sebuah basis wilayah bekas pusat keagamaan Hindu. Ketiga,
zaman pemerintahan Mataram yang menjadikan wilayah Panjer sebagai cikal
bakal pusat pemerintahan kadipaten yang letaknya di eks pabrik Mexolie
atau Sari Nabatiasa. Keempat, masuknya kolonialisme VOC dari
pemerintahan Hindia Belanda yang memberikan berbagai perubahan-perubahan
baik positip negatif terhadap kepemerintahan, struktur sosial dan
dinamika kebudayaan serta keagamaan masyarakat Kebumen. Kelima, proklamasi kemerdekaan yang menjadikan Kebumen sebagai wilayah Kabupaten dari sebuah wilayah Propinsi Jawa Tengah.
Kita yang
saat ini menjadi warga masyarakat Kebumen, berdiri di atas lapisan demi
lapisan warisan sejarah. Bukan hanya berawal dari pemerintahan Islam
melainkan zaman pemerintahan Sanjaya yang beragama Hindu. Semua agama
dan peradaban yang masuk dan mewarnai leluhur dan masyarakat Kebumen
modern memiliki nilai tersendiri.
Dengan
kita memahami dan menyadari tentang apa dan bagaimana Kebumen pada zaman
pra kemerdekaan dan pra Islam, kita patut bersyukur dan berbangga bahwa
kita berdiam di sebuah wilayah yang memiliki pengaruh dan peradaban
masa lalu yang agung.
Kekayaan
sejarah ini hendaknya menjadi modal dasar baik bagi mereka yang menjadi
pejabat publik dan birokrat maupun pengusaha serta masyarakat umum untuk
membangun kota Kebumen demi kemajuan masa depan.
END NOTES
[1] Kebumen Ekspres, 5 Maret 2013, hal 1
[2] Candi
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi
[3] Candi
http://candi.pnri.go.id/pengantar/index.htm
[4] Ibid.,
[5] Op.Cit., Candi
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi
[6] Kerajaan Medang
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Medang
[7] Wangsa Sanjaya
http://id.wikipedia.org/wiki/Wangsa_Sanjaya
[8] Ibid.,
[9] Karesidenan Kedu
http://id.wikipedia.org/wiki/Karesidenan_Kedu
[10] Jelajah Situs Purbakala di Purworejo
http://www.yacob-ivan.com/2012/03/jelajah-situs-purbakala-di-purworejo.html
[11] Situs Lingga Yoni
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=117&lang=id
[12] G.M. Nurjana, Lingga dan Yoni, Parisadar Hindu Dharma Indonesia
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1107&Itemid=79
[13] Lingga Yoni Altar Naga Situs Gedong Putri
http://sejarah.kompasiana.com/2012/10/10/lingga-yoni-altar-naga-situs-gedong-putri-500703.html
[14] Ibid.,
[15] Candi Ijo
http://jogjatrip.com/id/190/Candi-Ijo
[16] Situs Lingga Yoni Mangir di Bantul
http://thearoengbinangproject.com/situs-lingga-yoni-mangir-bantul-jogja/
[17] Pemujaan Lingga di Jawa
http://hardisanatana.blogspot.com/2013/02/pemujaan-lingga-di-jawa.html
[18] Situs Candi Gondoarum
http://ikanmasteri.com/archives/5058
[19] Candi Sukuh
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Sukuh
[20] Aneh, Ditemukan Lingga Yoni di Candi Perwara
http://gudeg.net/id/news/2010/01/5170/Aneh-Ditemukan-Lingga-Yoni-di-Candi-Perwara.html#.UUFtQchlhYw
[21] Penemuan Patung Ganesha dan Lingga-Yoni di UII
http://oediku.wordpress.com/2009/12/24/penemuan-patung-ganesha-dan-lingga-yoni-di-uii/
[22] Ahmad Subandi, Pesantren dan Perguruan Islam Al Kahfi Somalangu Kebumen
http://sejarah.kompasiana.com/2010/10/08/pesantren-dan-perguruan-islam-al-kahfi-somalangu-kebumen-283419.html
[23] Ibid.,
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus