MEMAKSIMALKAN FUNGSI ALUN-ALUN SEBAGAI RUANG PUBLIK TERBUKA
Beberapa
tahun lalu saat saya mengendarai kendaraan bermotor, tiba-tiba mobil
berplat Jakarta merapat dan meminta petunjuk sebuah alamat tertentu. Dan
ketika saya memberikan sebuah ancer-ancer yang harus dilewati yaitu
Alun-alun, orang tersebut bertanya dengan heran apa itu Alun-alun? Saya
pun tidak memberikan definisi melainkan hanya memberikan sebuah
deskripsi yang mudah-mudahan dapat dia identifikasi.
Deskripsi
atau gambaran umum sebuah Alun-alun adalah ditandai elemen-elemen
berikut yang ada disekelilingnya yaitu: (1) Lapangan luas berbentuk
bundar atau persegi empat (2) Ada pohon berigin di tengah lapangan luas
(3) Ada gedung pemerintahan setempat (Bupati) (4) Masjid Agung.
Definisi Alun-Alun
Alun-alun ternyata bukan hanya dominan di Indonesia khususnya Jawa tapi juga di Mancanegara dengan sebutan Town Square[1]. Apa sesungguhnya Alun-alun itu? Dan apakah fungsi dan kedudukan Alun-alun di sebuah kota?
Van
Romondt (Haryoto, 1986:386) menjelaskan pada dasarnya alun-alun itu
merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar.
Penguasa bisa berarti raja,bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa
yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat
kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat
sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan
pendidikan.
Thomas Nix
(1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan
terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi
dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal
yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan
terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan
merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa,
kecamatan, kota maupun pusat kabupaten[2].
Fungsi Alun-Alun
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa
(2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut
beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu
sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan
tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum
(makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan ritual atau
keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang
bersifat profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktekkan
kekuasaan sakral dari sang penguasa[3].
Penjelasan
di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa keberadaan alun-alun
berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka dimana rakyat saling bertemu
dan fungsi pengaduan rakyat pada raja.
Sebagai
ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk
bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat dll. Bahkan istilah Plaza yang saat ini menjadi ikon modernitas di setiap kota, disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace
(2010) sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran
makna yang dahulunya adalah alun-alun[4]. B. Herry Priyono dalam bukunya
Republik Tanpa Ruang Publik (2005) memberi peringatan
akan dampak pergeseran makna Plaza yang semula adalah Alun-alun sebagai
aktivitas ruang publik yang dinamis sbb: “ketika ruang publik telah
menjelma menjadi komoditas komersial suatu masyarakat, maka pemaknaan
‘kewarganegaraan’ sebagai makhluk sosial, telah berganti menjadi
pemaknaan bahwa masyarakat itu adalah konsumen belaka”[5].
Sebagai
tempat pengaduan rakyat, alun-alun berfungsi sebagai tempat curhat dan
protesnya masyarakat terhadap sebuah kebijakan pemerintahan dalam hal
ini raja atau istana. Di alun-alun Yogyakarta pada zaman kolonial, tepat
dimana berdirinya wringin kurung (pohon beringin yang dibatasi pagar)
jika seseorang mengalami keberatan atau sebuah kebijakkan maka mereka
akan duduk bersila seharian di sana dengan menggunakan tutup kepala
putih dan pakaian putih. Tata cara ini disebut dengan pepe. Jika raja
melihat keberadaan orang tersebut maka raja akan memerintahkan untuk
membawa orang tersebut menghadap dan mengadukan persoalannya secara
langsung.
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat dikatakan, “Adanya
cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum
untuk memperjuangkan hak asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang
baru atau barang yang diimpor dari negara lain”[6]
Alun-Alun Pada Zaman Pra Kolonialis
Handinoto,
Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur
Universitas Kristen Petra, menguraikan bahwa keberadaan Alun-alun telah
ada pada zaman Majapahit (Hindu-Budha) dan zaman Mataram (Islam).
Menurut Kitab Negarakertagama
karya Empu Prapanca, disebutkan bahwa pada zaman Majapahit, alun-alun
memiliki fungsi sakral dan fungsi profan. Yang dimaksudkan fungsi sakral
adalah upacara-upacara religius dan penetapan jabatan pemerintahan.
Sementara fungsi profan adalah untuk kegiatan pesta rakyat dan
perayaan-perayaan tahunan. Ada dua alun-alun yang menjalankan kedua
fungsi di atas yaitu Alun-alun Bubat (menjalankan fungsi profan) dan
Alun-alun Wiguntur (menjalankan fungsi sakral)[7].
Sketsa rekonstruksi Kota Majapahit oleh Maclaine Pont (1924)
berdasarkan Nagarakretagama dan hasil penggalian.
http://carasejarah.blogspot.com/2011_07_01_archive.html
Pola ini
dilanjutkan baik dalam pemerintahan Mataram baik Yogyakarta maupun
Surakarta yang memiliki dua alun-alun yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun
Kidul. Di alun-alun Yogyakarta ditempatkan pohon beringin kembar yang
dinamai Kyai Dewa Ndharu dan Kiai Jana Ndharu. Di zaman Mataram Islam
ditambahkan keberadaan Masjid sebagai pengganti candi.
Alun-Alun Pada Zaman Kolonialis
Pada zaman
kolonial, alun-alun tidak hanya menjadi bagian dari sebuah keraton yang
dikepalai oleh seorang raja melainkan oleh para bupati sebagai bawahan
raja.
Pemerintah
kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat
resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan
sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung
dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur
pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang
berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah Inlandsch Bestuur).
Dalam sistim pemerintahan Inlandsch Bestuur
pejabat Pribumi yang tertinggi adalah Regent atau biasa disebut sebagai
Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Rumah Bupati di Jawa selalu
dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di
depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan
alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi
miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta[8].
Alun-Alun Pada Zaman Paska Kolonialis
Handinoto melihat adanya pergeseran signifikan mengenai eksistensi alun-alun paska kolonialisme, “Pada
awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara.
Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang subur di
Nusantara,kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang
dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad
ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas
kota-kota di Jawa”.
Handinoto juga mengungkapkan keprihatanannya sbb: “Sesudah
kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak
pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau
bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini. Banyak
alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olah raga sepak bola,
tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota.
Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya
sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun
kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis
di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus
budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan
dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul
kebingungan dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti apa yang
dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola
tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap.
Sesudah jaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup segan matipun enggan”[9]
Filosofi Alun-Alun
Sebagaimana
dikatakan sebelumnya bahwa Alun-alun memiliki makna sakral dan profan,
maka keberadaannya tidak lepas dengan sejumlah filosofi dan makna yang
terkandung di dalamnya.
Suwardjoko P Warpani SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota menuliskan, “Alun-alun
merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya
menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang
alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau
setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun
nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih
tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak anggota masyarakat
yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham berhak
melakukan apa saja”[10].
Khairudin H. Dalam bukunya Filsafat Kota Yogyakarta menjelaskan filosofi alun-alun sbb: “Alun-alun
utara ini menurut K.P.H. Brotodiningrat (1978:20) merupakan gambaran
suasana yang sangat nglangut, suasana tanpa tepi, suasana hati kita
dalam semedi. Dalam melakukan semedi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
biasanya penuh dengan godaan-godaan, yang tercermin dari luasnya
alun-alun. Alun-alun juga penggambaran luasnya masyarakat dengan
berbagai bentuk dan sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk
madep kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Alun-alun menurut KRT.
Puspodiningrat (1984:2) berasal dari kata alun 9gelombang). Gelombang
yang mengayun-ayunkan hidup manusia di dalam samudra masyarakat.
Gelombang ini digerakkan oleh angin (beringin) dari segala penjuru yang
tumbuh disekeliling alun-alun. Agin ini ibarat berbagai aliran yang
membawa pengaruh kepada manusia, misalnya ideologi, agama, science,
kepercayaan dan sebagainya. Sedangkan beringin yang ada di tengah
alun-alun yang berjumlah dua buah menggambarkan kesatuan antara
mikrokosmos dan makrokosmos...”[11]
Memaksimalkan Alun-alun Kebumen Sebagai Ruang Publik
Sebagaimana
kota-kota kabupaten lainnya, Kebumen pun memiliki alun-alun yang cukup
luas dengan pohon beringin di tengah-tengahnya. Di utara alun-alun
bertempat rumah dinas dan pendopo Bupati. Di sebelah Barat bertempat
Masjid Agung dan di sebelah Timur bertempat gedung DPRD serta di bagian
Selatan bertempat beberapa gedung aktifitas publik baik keekonomian
maupun pendidikan. Bahkan saat ini sudah dilengkapi dengan televisi
besar yang dapat dilihat masyarakat untuk menampilkan tayangan-tayangan
tertentu.
Pada malam
minggu, aktifitas di seputar alun-alun sangat luar biasa. Khususnya
jika ada kegiatan-kegiatan hiburan (menanggap wayang kulit, pentas band
nasional, pesta kesenian rakyat, pasar malam, dll). Pada hari minggu
pagi semakin ramai dan dinamis, apalagi dengan diberlakukannya car free
day (hari bebas kendaraan) di masa kepemimpinan Bupati Buyar Winarso.
Kegiatan olah raga mendominasi aktifitas masyarakat pada hari minggu.
Di luar
hari minggu, setiap pagi dipergunakan untuk aktifitas berolah raga
beberapa anggota masyarakat. Pada siang hari beberapa aktifitas
anak-anak sekolah atau institusi mengadakan kegiatan dari olah raga
sampai upacara-upacara. Dalam beberapa kesempatan dipergunakan untuk
gladi upacara religius seperti manasik haji. Dan masih banyak aktifitas
lainnya yang berfokus di alun-alun.
Melihat
sejarah masa silam dan fungsi alun-alun yang antara lain sebagai ruang
publik terbuka, maka sudah seharusnya baik pemerintah daerah maupun
masyarakat menjaga eksistensi dan keberlangsungan alun-alun kota
Kebumen.
Masih
ditemui aktivitas vandalisme (merusak bangunan penting) dengan
mencorat-coret bangunan di lingkungan alun-alun dan Pemda setempat
membiarkan tanpa pengawasan dan melakukan pembersihan.
Di area
pohon beringin yang rindang dan sejuk masih dijumpai beberapa
gelandangan yang menimbulkan rasa kurang nyaman terhadap pengunjung
alun-alun.
Di
tengah-tengah alun-alun masih terlihat bambu yang ditancapkan untuk
kegiatan sepak bola yang dipasang secara tidak beraturan sehingga tidak
sedap dipandang dan menimbulkan ganguan sebagai obyek foto.
Tidak
kurang pentingnya adalah aktifitas pedagang yang kurang beragam di
alun-alun kota Kebumen. Masih didominasi pedagang nasi goreng dan mie
godhok serta jagung bakar. Seharusnya untuk keanekaragaman panganan
dapat melibatkan beberapa pedagang lainnya untuk dapat mewarnai
aktifitas perdagangan dan variasi pilihan masyarakat. Keragaman
menyimbolkan kreatifitas pedagang dan penghargaan terhadap berbagai
perbedaan.
Dengan
keberadaan alun-alun yang aman, nyaman, bersih, dan beragam pilihan
dagangan maka aktifitas sebagai ruang publik semakin luas dan dinamis.
Dengan
kajian singkat ini kiranya masyarakat menjadi kritis dan tidak
membiarkan berbagai aktifitas yang akan mengubah fungsi dan keberadaan
alun-alun menjadi kepentingan keekonomian yang merugikan rakyat dan
menguntungkan sekelompok pemilik modal tertentu yang akan menggeser
makna keberadaannya sebagai ruang publik terbuka.
Marilah
kita manfaatkan keberadaan alun-alun sebagai ruang publik terbuka untuk
menjadi sarana melakukan berbagai aktifitas yang positip dan membangun
serta mencerdaskan masyarakat. Dan tidak lupa untuk kita menjaga
keberlangsungannya secara bersama-sama baik antara pemerintah daerah dan
masyarakat.
End Notes
[1] Alun-alun atau City Square, Peran dan Eksistensinya
http://wilayahkota.blogspot.com/2012/05/alun-alun-atau-city-square-peran-dan.html
[2] Alun-Alun
http://id.wikipedia.org/wiki/Alun-alun
[3] Heri Priyatmoko, Makna dan Pergeseran Makna Alun-alun
http://kabutinstitut.blogspot.com/2009/08/makna-dan-pergeseran-makna-alun-alun.html
[4] Hodlan JT Hutapea, Pergeseran Makna Ruang Publik
http://www.analisadaily.com/news/2013/9163/pergeseran-makna-ruang-publik/
[5] Ibid.,
[6] Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 122
[7] Handinoto, Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang,
Dimensi 18/ARS SEPTEMBER 1992, hal 4-6
http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/ALUN-ALUN.pdf
[8] Ibid., hal 10-12
[9] Ibid., hal 13
[10] Suwardjoko P Warpani (SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota), Alun-Alun
http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/edisi5c.pdf
[11] Khairuddin H., Filsafat Kota Yogyakarta, Yogyakarta: Liberty 1995, hal 53
0 Response to " MEMAKSIMALKAN FUNGSI ALUN-ALUN SEBAGAI RUANG PUBLIK TERBUKA"
Posting Komentar
follow my twitter @akhmadraauf
yang punya blog wajib comen langsung comen back
yang follow blogku langsung di comen back
comen disini bebas