DARI KALI RONG SAMPAI CLERENS:
MENELUSURI JEJAK-JEJAK SAMAR ASAL USUL
DESA KLIRONG DAN DESA GEBANGSARI
Tidak mudah mengetahui sejarah bermulanya sebuah desa khususnya desa
Gebangsari dan desa Klirong yang menjadi wilayah Kecamatan Klirong dan
Kabupaten Kebumen. Sumber informasi yang diperoleh masih begitu samar
dan kontradiktif satu sama lain. Ketidakjelasan ini dikarenakan tidak
adanya sumber-sumber tertulis (babad, tarikh) yang dapat dijadikan
sumber rujukan ilmiah mengenai asal usul keberadaan sebuah desa.
Satu-satunya sumber yang dimiliki adalah tradisi lisan (oral tradition).
Apakah tradisi lisan itu? Prof. Kuntowijoyo mengutip pandangan Jan Vansina dalam bukunya Once Upon a Time: Oral Traditions as History in Africa sbb: “Oral testimony transmitted verbally from one generation to the next one or more”[1]
(Tradisi Lisan diteruskan secara mulut ke mulut dari satu generasi ke
generasi berikutnya dan seterusnya demikian). Selanjutnya Prof.
Kuntowijoyo menjelaskan, “Dalam tradisi lisan tidak termasuk
kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga di sini tidak termasuk
rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu
generasi ke generasi yang lain. Tradisi lisan dengan demikian terbatas
di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan”[2]
Saya menemui dua orang yang saya anggap memiliki sejumlah informasi
mengenai asal usul Desa Gebangsari dan Desa Klirong yaitu Bpk Sri
Darmaji (Kepala Desa Klirong) dan Bpk Parluji (Kepala Desa Gebangsari).
Kedua orang ini menjadi nara sumber yang cukup mengetahui tradisi lisan
asal usul kedua desa tersebut.
Bapak Sri Darmaji menjelaskan asal usul desa Gebangsari dan Klirong sbb:
Bermula dari kisah seorang pangeran yang berasal dari wilayah Mataram
(tidak jelas raja Mataram mana yang dimaksudkan) yang bernama Prabu Jaka
hendak “bebedak” (berburu) dan sampailah di sebuah hutan di wilayah
yang sekarang merupakan wilayah kecamatan Klirong. Nama desa “Bobang”
diyakini berasal dari nama “Kebo Abang” yang dijumpai oleh Prabu Jaka.
Sang pangeran ternyata tertarik untuk tinggal di di wilayah tersebut
sehingga berniat mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan
sejumlah prajurit yang mengiringinya.
Namun sang raja yang sudah uzur usianya menghendaki putranya kembali
pulang sehingga diutuslah adik perempuan sang pangeran. Namun sang adik
pangeran tidak datang dengan status dirinya yang adalah adiknya
melainkan datang dengan menyamar menjadi seorang penari. Namun ketika
sang pangeran melihat adiknya yang menyamar tersebut, dia menganggap
adiknya adalah mata-mata dari Mataram sehingga dia memutuskan untuk
membunuhnya. Tidak lama kemudian sang pangeran menerima kabar bahwa
orang yang dibunuhnya adalah adiknya sendiri. Hati sang pangeran menjadi
masygul sehingga dia memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri.
Demi didengar kematian sang pangeran dan adik sang pangeran, sang raja
memutuskan untuk mengambil kedua jenasah anaknya sekalipun sudah
dikebumikan. Menurut kisah yang beredar, sang raja mengutus para
prajuritnya untuk mengambil jenasah dari dalam bumi dengan cara berjalan
menembus bumi dari Mataram sampai ke wilayah yang sekarang berada di
wilayah Kecamatan Klirong. Pasukan dibagi dua antara pasukan di wilayah
Mataram dan pasukan yang berada di wilayah yang sekarang disebut
Kecamatan Klirong. Nama Klirong sendiri berasal dari kata “Kali”
(sungai) dan “Rong” (lubang di bawah tanah) yang menunjukkan aktifitas
para prajurit Mataram saat berjalan dan menembus bumi membuat
“urung-urung” (lubang) dengan kesaktian mereka saat mengambil kedua
jenasah putra raja tersebut.
Para pasukan yang berhasil membawa jenazah tersebut kembali ke Mataram.
Dalam setiap perjalanan mereka menamai masing-masing lokasi yang mereka
singgahi sesuai dengan peristiwa yang mereka alami. Sebagai contoh desa
Klampis (masuk wilayah Kecamatan Klirong) berasal dari kata “Ambegan
Kempis-kempis” (nafas megap-megap). Istilah ini menunjuk aktifitas para
prajurit mataram yang kelelahan saat menembus bumi dan saat mereka
beristirahat maka mereka menamai desa tersebut dengan “Klampis”. desa
Ambal di wilayah Kutowinangun diduga berasal dari istilah
“Ambal-ambalan” (bertepuk tangan bersahutan). Istilah ini dihubungkan
dengan aktifitas tepuk sorak para prajurit Mataram saat mereka berhasil
membawa jenasah kedua putra raja tersebut[3].
Dimanakah letak makam kedua putra raja yang dikebumikan tersebut?
Menurut Bapak Sri Darmaji dan Bapak Parluji makam tersebut berada di
desa Gebangsari dimana saat ini menjadi lokasi kandang sapi kelompok
tani milik warga. Ketika saya mengunjungi tempat tersebut, situs
tersebut telah dipindahkan lokasinya beberapa meter dari lokasi yang
sekarang di tempati sejumlah hewan ternak sapi. Menurut keterangan Bapak
Parluji, saat beberapa tahun silam makam tersebut dipindahkan, tidak
berisikan apapun hanya ada terdapat “paesan” (cungkup) kuno yang
sekarang dipasangkan kembali sekalipun dengan bentuk makam modern[4].
Lokasi Makam Prabu Jaka
Lokasi Lama Pekuburan Prabu Jaka
Apakah kisah-kisah di atas dapat dipercaya dan memiliki nilai faktual
historis? Sulit menjawab soal faktualitas dan historitas di atas. Kisah
setengah dongeng tersebut tidak bisa begitu saja dipercaya namun tidak
bisa begitu saja diabaikan.
Persoalan fenomena supranatural (menembus bumi) bukan persoalan mustahil
di tanah Jawa dengan latar belakang zaman raja-raja. Namun alur logika
kisah di atas cukup diragukan kebenarannya. Pertama, mengapa
sang raja Mataram harus mengirim para pasukannya dengan melalui bawah
tanah jika wilayah yang akan didatangi bukanlah sebuah wilayah musuh
sehingga harus mengambil jenasah kedua putra dan putrinya dengan cara
demikian? Mengapa tidak melalui jalur darat dengan diiringi panji-panji
kebesaran? Kedua, bisa jadi orang-orang tua zaman dahulu
membuat kisah atau cerita dengan metode “gothak gathuk mathuk” dengan
membuat persamaan bunyi dan artinya menjadi sebuah kisah seperti istilah
“Klirong” yang berasal dari “Kali” dan “Rong”. Padahal dalam salah satu
tulisan yang saya baca, nama Klirong dihubungkan dengan nama seorang
prajurit Belanda asal Prancis bernama Clerens yang tertembak saat perang
Pangeran Diponegoro. Karena lidah Jawa kurang fasih melafalkan nama
asing maka muncullah nama “Klirong”[5]. Sampai di sini kita melihat
beberapa data dan informasi yang bertabrakan dan tidak sinkron sehingga
membuat kesamaran akan faktualitas dan historitas desa Gebangsari dan
desa Klirong.
Sebagaimana saya jelaskan di atas, kita tidak bisa begitu saja
mengabaikan kisah-kisah di atas mengingat di wilayah desa Gebangsari
sendiri terdapat sejumlah situs penting selain situs makam Prabu Jaka
yang sudah tidak ada isi jasadnya. Situs penting lainnya yang masih
terkait secara tidak langsung dengan Prabu Jaka adalah makam Adipati
Anden di wilayah desa Bobang dan makam Maduretno dan Maduseno.
Siapakah Adipati Anden itu? Bpk Sri Darmaji memberikan keterangan, ada dua penjelasan mengenai asal usul Adipati Anden. Pertama, beliau keturunan Sultan Mataram dari garwo ampilan. Kedua, beliau adalah anak dari imam mesjid di Mataram.
Lokasi Makam Adipati Anden
Dalam perjalanan waktu, Adipati Anden kelak akan menurunkan sejumlah
keturunan yang kelak akan menjadi “Glondong” (kepala para lurah). Di
wilayah Klirong. Menurut Bpk Sri Darmaji yang masih keturunan “Glondong”
Klirong, Glondong pertama di pimpin oleh Kartodikromo dan Glondong
terakhir adalah Sayoto. Glondong pertama sampai ketiga bertempat tinggal
di wilayah desa Tapen sekarang ini dan untuk Glondong keempat sampai
terakhir berpindah di kediaman yang sekarang ditinggali oleh keluarga
Bpk Sri Darmaji. Penulis (Teguh Hindarto) masih ada hubungan keluarga
dengan Bpk Sri Darmaji tersebut.
Kepala Desa Klirong, Bpk Sri Dharmaji
Mendiami Rumah Glondong Klirong
Makam Adipati Anden sejak tahun 1975 dibangun oleh Alm. Jendral Ali
Murtopo sebagaimana terlihat dalam gambar di atas. Istri Ali Murtopo
masih ada trah atau hubungan darah dengan Adipati Anden.
Masih di sekitar wilayah Bobang ada situs penting lainnya yang juga
kurang terawat dan masih berkaitan dengan keluarga Adipati Anden seperti
Maduseno dan Maduretno dan beberapa makam lain yang tidak memiliki nama
sebagaimana terlihat di bawah ini.
Lokasi Makam Maduretno dan Maduseno
Beberapa Makam Keluarga Maduseno dan Maduretno yang Tidak Teridentifikasi
Melihat bentuk nisan, nampak bahwa orang yang dikubur di sini bukan
berasal dari wilayah setempat melainkan ciri dari wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya alias kerajaan Mataram Islam.
Selain situs di atas, masih ada lagi situs yang dikenal dengan situs
“Puser Bumi Klirong”. Ada dua situs makam di wilayah pekarangan warga
yang diyakini sebagai makam seorang prajurit dengan makam kudanya. Tidak
ada keterangan apapun yang dapat diperoleh mengenai kedua situs makam
berupa gundukan batu bata tersebut
Lokasi Makam Puser Bumi Klirong
Kemunculan nama Adipati Anden menimbulkan permasalahan baru jika
dikaitkan dengan keberadaan wilayah Kadipaten Panjer kuno sebagai cikal
bakal kota Kebumen. Jika keberadaan Adipati Anden lebih tua dan ada
terlebih dahulu dibandingkan Kadipaten Panjer, maka usia desa Gebangsari
dan Klirong lebih tua dari Kadipaten Panjer yang sekarang berada di
wilayah kota Kebumen. Sekali lagi, informasi ini tidak memiliki
kepastian mengingat keberadaan Adipati Anden dan sejumlah situs penting
yang berada di wilayah Gebangsari dan Klirong tidak memiliki tarikh yang
dapat diidentifikasi sehingga bersifat meraba-raba saja.
Selain situs-situs penting, penulis juga berusaha menelusuri pendataan
kuno Persil (letak tanah) yang ditulis oleh Kaum Sanjaya pada tahun
1933. Pendataan Persil itu ditulis rapih dengan pensil yang berisikan
peta tanah dan perhitungan luas tanah. Sekalipun kertas sudah dimakan
ngengat namun masih terbaca dengan baik.
Pendataan Persil 1933
Arsip Persil di Balai Desa Klirong
Apa arti data Persil tertanggal tahun 1933 tersebut? Bpk Sri Dharmaji menyampaikan dua asumsi. Pertama,
pembuatan catatan pendataan tersebut tentu tidak dibuat berdasarkan
inisiatif pribadi. Catatan tersebut pasti dibuat oleh perintah otoritas
yang lebih tinggi yaitu Bupati. Maka penetapan hari jadi Kebumen 1
Januari 1936 seharusnya ditinjau ulang karena pada tahun 1933 sudah ada
pendataan atas perintah seorang bupati. Maka seharusnya hari jadi
Kebumen bukan tahun 1936 melainkan 1933 atau 1930-an. Kedua,
pendataan yang dibuat tahun 1933 merupakan persiapan menuju penggabungan
Kebumen, Ambal, Karanganyar sebelum kelak diresmikan pada tahun 1936
oleh Gubermen Belanda De Jonge. Persiapan pendataan diperlukan agar
terjadinya ketertiban status dan letak tanah warga. Maka wacana
penggabungan nampaknya sudah terjadi sebelum tahun 1936.
Saya lebih memilih asumsi kedua yang lebih masuk akal bahwa pendataan
Persil dimaksudkan sebagai persiapan untuk penggabungan kelak dan cikal
bakal diresmikannya Kabupaten Kebumen pada tanggal 1 Januari 1936. Bagi
saya, data Persil 1933 justru semakin mengokohkan analisis dan
kesimpulan saya dalam artikel yang telah saya susun sebelumnya, bahwa
kita tidak perlu melakukan revisi hari jadi Kebumen atas desakan
sejumlah pihak yang berasumsi bahwa menetapkan kelahiran Kebumen pada
tahun 1936 adalah keliru[6].
Penetapan hari jadi Kebumen tanggal 1 Januari 1936 secara De Jure
(hukum) sah namun secara De Facto (kenyataan) Kebumen memiliki latar
belakang sejarah lampau yang panjang. Sejarah Panjer sebagai cikal bakal
Kebumen dapat diletakkan sebagai sejarah Pra Kebumen.
Tulisan awal ini masih memerlukan sejumlah data dan fakta untuk
memperlengkapi seluruh kondisi faktual dan historikal asal usul desa
Gebangsari dan Klirong. Kiranya di hari-hari berikutnya kita akan
menemukan sejumlah fakta-fakta baru yang dapat membuat gambaran yang
utuh mengenai asal-usul desa yang usianya lebih tua dari Kadipaten
Panjer itu sendiri.
END NOTES
----------------
[1] Prof. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, hal 25
[2] Ibid.,
[3] Wawancara dengan Bapak Sri Darmaji (Kepala Desa Klirong), Tgl 10 Februari 2013
[4] Wawancara dengan Bpk Parluji (Kepala Desa Gebangsari) dan peninjuan lokasi, Tgl 10 Februari 2013
[5] Haryadi Marsono, Sekilas Kabupaten Kebumen
http://www.pesonagetar.com/kategori/berita-333-sekilas-kabupaten-kebumen.html
[6] Teguh Hindarto, Memisahkan Fakta dan Fiksi Seputar Sejarah Berdirinya Kebumen
http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/01/memisahkan-fakta-dan-fiksi-seputar.html?showComment=1360713771839#c6080456938089565754g
0 Response to " DARI KALI RONG SAMPAI CLERENS"
Posting Komentar
follow my twitter @akhmadraauf
yang punya blog wajib comen langsung comen back
yang follow blogku langsung di comen back
comen disini bebas